Mereka (yang) sakit hati karena cover

Ini gambaran jaman dimana orang akan disakiti dan disayat-sayat perasaan dan iman serta identitasnya saat gambar, logo, relikwi reliqui spanduknya disalahgunakan.Tadi di sermon Distrik V Sum Timur Dr Binsar Nainggolan, katanya karena vocatio interna-nya, yaitu panggilan (dalam) hati dan dirinya atau panjouon parbagasan dan bukan vocatio externa panggilan dari luar dirinya. Katanya ada dua jenis panggilan ke manusia terutama pelayaan gereja : panggilan dari diri sendiri sebagai respons (dialektika) iman kristen kepada Allah, sehingga orang mempersembahkan dirinya sebagai hamba dan tidak mengharap pamrih, gaji, balanjo atau apa saja imbalan pelayanannya. Sedang jenis kedua adalah dari luar dirinya, termasuk gereja sebagai institusi perwujudan kehadiran Kristus di dunia ini. Misalnya dalam institusi itu gereja memberi aturan, tolok ukur keimanan dlsb. Sehingga seorang yang terpanggil benar-benar melaksanakannya sebagai perwujudan keterpanggilannya. Dalam  teks 1 Sam 3:1-10 jelas-jelas panggilan Allah terhadap Samuel, yang masih bau kencur untuk merespon panggilan Allah dalam dirinya. Mungkin baik kedua kata itu dibedakan juga dengan kata Beruf (panggilan) dan Berufung (pekerjaan) yang akar katanya sama dengan akhiran berbeda sehingga membedakan makna keduanya secara luas. Panggilan tidak membutuhkan gaji, imbalan, yield, tapi dimana saja pekerjaan (profesi) pasti meminta imbalan, gaji atau kompensasi.Dia berdiri untuk menyatakan seolah-olah belum ada orang di parsermonan itu yang membaca Tempo (Edisi 4-10 Februari 2008) yang kontroversial itu. dia bersedia tinggal di ruangan itu dan bersedia membicarakan dan mendiskusikan hal-hal yang menyangkut kekristenannya yang tercoreng dan disinggung. Dan seorang doktor teologi siap untuk mendiskusikan isu yang patut ditanggapi karena dianggap perlu itu, lihatlah hanya dua orang pendeta HKBP yang kelihatannya sedikit tertarik dengan pembicaraan Dr Binsar. Dari 150 orang yang sermon pada satu hari Rabu, satu distrik pula siapakah yang sebenarnya benar-benar peduli dengan Cover Tempo? Benar-benarkah tidak ada pelayan gereja HKBP yang tertarik membicarakan – bukan mengajak demonstrasi ke kantor Tempo – cover kontorversial itu? Kaum katolik sajakah yang perduli dengan ini, sehingga pihak tempo hanya meminta maaf kepada forum katolik roma ??Tempo hari kejadian-kejadian sama pernah terjadi ada orang yang perduli, yang menghujat habis-habisan akan peristiwa sebuah majalah atau tabloid Barat memuat gambaran dan karikatur bahwa tidak ada yang dibawa oleh Nabi Muhammad selain pedang dan bom untuk mengatakan kekerasan. Tapi sebagian lagi, dan ini mungkin palng banyak orang yang tidak ambil pusing akan kejadian polemis itu. mungkinkah kejadian-kejadian itu tetap tinggal diam dalam memori kolektif bangsa yang pluralis ini dan tetap tinggal sebagai kekesalan; dan itu akan meledak pada satu waktu.Banyak orang yang tersinggung, tokh ini menaikkan oplah penjualan mingguan yang pernah dibreidel di jaman orde baru itu. Jadi mungkin pengalaman dibreidel itu membuat redaksi Tempo itu berusaha tampil beda dengan ide dan gagasan Lagi pula seperti yang Sdr. baca memang katanya redaksi ini sudah berganti-ganti memimpin sebuah tim yang mau mendahului takdir – kata pengantar editorialnya – tentang ujung perjalanan soeharto. Setahun sebelum soeharto wafat ada tim yang khusus menyorot gerak gerik pemimpin no 1 di Indonesia itu. Buktinya begitu soeharto mangkat tumpahlah hasil perburuan dan kerja keras tim itu sebagai sebuah edisi khusus. Satu sisi ini dapat difahami, namun dengan pemilihan cover yang controversial.Katanya sih, Kendra Paramitha sang pelukis terinspirasi oleh lukisan perjamuan terakhir Leonardo da Vinci. Jadi kolektifitas ingatan sekali lagi meminta kita sebagaimana maaf yang sudah disampaikan kepada yang tersinggung.Mungkin anak sekolah minggu saja tahu kan apa itu gambar Yesus yang sedang mengadakan perjamuan kudus, dan setelah itu – kata anekdot itu – mengadakan foto bersama setelah acara pembasuhan kaki.Sampai disini Sdr. tersinggung juga. Wah benar tergambar betapa perlu dan dalamnya makna logo, gambar, patung, relikwi/ reliqui itu sampai rela berkorban waktu dan potensi untuk dihabiskan. Tapi apa benar orang lain, terutama islam di Indonesia memahami bahwa gambar dan lukisan perjamuan terakhir itu sebagai salah satu gambar yang menyangkut ritus penting kekekristenan.Begitu pentingkah Tempo untuk dibicarakan? Dulu ada keluar picisan Da Vinci Code dan bahkan beredar filmnya. Jangan-jangan sentimen agama-lah yang cukup berperan menguasai relung hati dalam kontroversi ini. Hantaman-hantaman hebat melalui peristiwa-peristiwa, regulasi dan perundangan menyentuh saraf ketersinggungan kita sebagai seorang kristen. Apa bukan karena Tempo saja yang mau karena kontroversi covernya saja – belum lagi isinya, pedulikah kita ?? – cuman mau cari popularitas demi mendongkrak oplahnya sebabnya biar redaksi meminta maaf tetap saja di Tempo, tempo interaktif, besok di tempo dan tempo; jadi yang tersinggung tunggulah permintaan maaf tempo di tempo itu sendiri. Tempo akan menyembuhkan sakitnya hati dan perasaan yang disayat oleh cover itu tapi tidak akan mencabut majalah edisi khusus itu dari peredaran.

2 comments

  1. Pak pendeta berdua (Bakti dan Dr Binsar) kok geram sekali? BUkankah ikon, seni dan sejarah, dan bahkan religi itu sendiri adalah sebuah ruang terbuka untuk berbagi tafsir? Dan sebuah tafsir (apalagi seni) tentu saja berasal dari sebuah motif sang penafsir.

    Nampaknya pelukis cover Tempo hanya mengalami deja vu. Barangkali ia membayangkan bagaimana Suharto menikmati hasil korupsi bersama kroni-kroninya. Lantas ia teringat secara asosiatif dengan lukisan Da Vinci. yang memag sangat terkenal sejak Da Vinci Code mengguncang dunia. Kedua ide ini lalu digabungkan menjadi cover yang membuat Katolik dan Pak Pendeta Bakti senewen.

    Masalahnya, sepenting apa lukisan The Last Supper bagi gereja? Toh mural yang dibuat abad ke-15 itu ‘kan bukan dokumen teologi gereja. Lukisan itu hanya bagian dari tradisi seni gerejani sejak enam abad terakhir. Bagi Katolik, yang memang menekankan pentingnya tradisi, cover Tempo tentu sangat mengganggu. Namun bagi Protestan? Nampaknya dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut lagi.

    Jadi? Jangan cepat tersinggung dan secara beringas menghubungkan cover Tempo dengan kebencian agama segala. Benar tuh kata Brajamusti, kita kok makin mirip FPI saja? Sedikit-sedikit ganyang, sedikit-sedikit protes!

    Moga-moga saja, ke depan kita semakin mahfum istilah Bonhoeffer tentang sebuah visi “religionless christianity” sebab nampaknya “religion” sudah mendorong kita semakin jauh dan menjauh dari spirit “christianity” itu sendiri, yang justru dengannya kita beroleh karunia untuk “beruf” dan “berufung”!!

  2. Sebenarnya sudah tidak ada masalah antara Majalah Tempo dengan umat Katholik. Masalahnya cuma ada yang ngomporin dari segelintir oknum pengurus KWI — kabarnya tergabung dengan paguyuban wartawan Katolik — yang menjadi humas eksternal PT Asian Agri Group (yang kini sedang bersengketa dengan Majalah Tempo) yang membesar-besarkan masalah ini.

    Oleh sebab itu, sangat bijaksana jika KWI, paguyuban wartawan katolik dan Majalah Tempo mencari tahu siapa yang mengambil untung dalam persoalan ini sekaligus menghimbau untuk menyetop masalah yang bisa menjadi SARA ini. Kita juga heran, untuk persoalan kecil seperti ini kok ummat Katolik bisa beringas seperti laskar Front Pembela Islam (FPI) ?

Leave a reply to Brajamusti Cancel reply