Pasca Sarjana – Tema Keadilan

TUNTUTAN KEADILAN SOSIAL BAGI UMAT ALLAH

1. Umat Allah dan Keumat-Allah-an
Banyak teks Perjanjian Lama (PL) menjelaskan bahwa agama yang benar didasarkan pada keadilan pada sesama. Dimana tidak ada keadilan bagi sesama, maka ibadah keagamaan tidak saja tidak bermakna tetapi juga sebagai penghinaan kepada Allah.
Misalnya Yeremia 7, 3-10 :

“Beginilah firman Tuhan, semesta alam, Allah Israel : “Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku akan diam bersama-sama kamu di tempat ini. Janganlah percaya kepada perkataan dusta yangberbunyi : Ini baitu TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN, melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan diantara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tidak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti ballah lain , yang menjadi kemalanganmu sendiri,… Kita selamat, supaya dapat pula melakukan segala perbuatan yang keji ini!”

Demikian juga dalam Perjanjian Baru (PB), jelas menuntut keadilan sosial. Dalam ajaran-ajaran Yesus secara jelas disuarakan pembebasan, baik yang bersifat pribadi; maupun sosial atau kemasyarakatan. Kristus sendiri bahkan mengidentifikasi diri-Nya dengan yang tertindas dan meninggalkan hidup-Nya untuk bekerja demi keadilan dan pembebasan.
Doa yang diajarkan Yesus pun, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” dan “jadilah kehendakMu dibumi maupun di sorga” sangat berkaitan erat dengan keadilan. Menyebut Allah “bagi semua orang” adalah memilih melawan semua bentuk diskriminasi sosial berdasarkan pada warna kulit, kelas dan jenis kelamin.
Sebagai sebuah persekutuan umat Allah dipanggil untuk melakukan ibadah yang sesuai dengan perintah Allah. Interaksi mereka dengan Allah dan dengan sesamanya menuntut mereka untuk mengenang kembali cara Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri dan berkenan menjadi Allah bagi umat yang dipilih-Nya sendiri.
Umat Allah dan Bangsa Israel dibahas oleh Barth , memiliki tiga rahasia pemersatu berbeda sebagai umat yang dipanggil dan dipilih Allah. Istilah “Israel” dan “umat Allah” disisi lain kelihatannya bertalian erat, sehingga ada orang yang mengidentifikasikannya sebagai yang sama.
– Sejak pembuangan orang-orang Israel atau disebut juga Yahudi terkenal sebagai suatu “umat”. Israel disebut sebagai gôy atau ‘am dan kedua sebutan tersebut dalam Alkitab LAI sama-sama merupakan istilah yang bermakna “bangsa”. Meskipun dalam penelitian menyeluruh istilah ‘am dan gôy berbeda dalam segi kehidupannya; ‘am dikenakan lebih kepada kaum keluarga, satuan-satuan masyarakat yang lebih kecil atau besar, misalnya dengan mengingat bapa leluhur bersama (Yer. 37, 13). Sedangkan gôy lebih menekankan kebersamaan dari segi bahasa, kebudayaan dan tata tertib hukum dan lain-lain faktor yang mempersatukan bangsa. Istilah ini kemudian mendapat tempat yang negatif dalam pemikiran orang Israel, sehingga dikhususkan sebutannya kepada bangsa-bangsa lain meskipun mereka sendiri pernah membanggakan keadaan mereka sebagai sebuah gôy.
– Dalam pada itu bangsa Israel disebut juga sebagai sebutan bagi umat yang dipanggil Allah menjadi umat-Nya Israel dipanggil, diangkat dan dilahirkan menjadi bangsa milik Tuhan, bangsa yang kudus. Pemilihan Israel sebagai bangsa Tuhan nyata dalam ibadah dimana Firman Allah dikumandangkan. Dengan pemberitaan Firman dan penyebutan nama Allah, bangsa itu dibina sehingga menjadi “bangsa yang kudus” dan “umat Tuhan”.
– Dengan pandangan demikian mereka dipersatukan menjadi suatu persekutuan, tetapi bukan berarti kesatuan dan persatuan Israel sebagai bangsa. sungguh pun begitu lama mereka hidup terpisah di dalam dua kerajaan, dan lebih lama lagi sebagai “bangsa Yahudi” di perantauan mereka. Persekutuan mereka menjadi sangat berbeda dengan kesatuan nasional, tetapi sebagai umat Tuhan!

Persekutuan mereka sebagai umat Allah diikuti dengan panggilan dan fungsi di dalam kerajaan Allah di dunia ini. Ibadah mereka dikuduskan menjadi ibadah umat Allah dan mengahayati persaudaraan sejati mereka diantara sesamanya.
Dalam panggilan dan fungsi mereka sebagai umat Allah tampaklah begitu sentralnya Yerusalem sebagai pusat peribadahan dan persekutuan mereka. Yerusalem digambarkan sebagai lambang persekutuan dan peribadahan umat Allah itu. Kota itu terpanggil menjadi kota bagi umat yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, sehingga menjadi masyarakat yang penuh keadilan .
Allah sendirilah yang memilih dan menetapkan Yerusalem sebagai tempat “kediaman”-Nya, sama seperti Ia “melahirkan” , “mengangkat” dan “mewujudkan” Israel sebagai umat-Nya. Lama sebelum orang Israel menyadarinya, Allah telah menetapkan berulangkali melalui panggilan, pemilihan Bapa leluhur, keluaran dari Mesir dlsb. Untuk menjadi umat-Nya sendiri. Ia berkenan hadir pada ibadah umat-Nya itu, dan jemaah itu diperkenankan “menghadap ke hadirat-Nya”, barulah mereka menjadi umat Allah.
Lama sesudah itu barulah orang menyadari keadaannya yang menjadi pilihan Allah yang mulia. Makin lama mereka beribadah di Yerusalem semakin mereka menyadari wujud dan panggilan mereka sebagai umat Allah.
Keadaan Israel digambarkan sebagai umat yang terus mencari jati dirinya, wujud dan panggilannya sekaligus dituntut untuk mewujudkan persekutuannya sebagai masyarakat keadilan dan kebenaran. Pada sisi lain ia berhubungan dan berbaur dengan masyarakat dunia lain, yang terkadang membuat mereka lupa akan panggilannya sebagai umat Allah : menyembah berhala bangsa-bangsa lain, melakukan ketidakadilan dan penindasan kepada orang miskin, dan kekejian lain dihadapan Allah.
Tema-tema kebenaran dan keadilan ini sering menjadi tema pemberitaan para nabi, untuk memperingatkan bangsa itu akan panggilannya sebagai umat Allah dan bukan hanya sebagai bangsa Israel dalam pengertian dunia pada umumnya.

2. Kadilan Sosial
Tema kebenaran dan keadilan ditemui dalam PL dengan kata-kata kunci : şĕdėq (keadilan), tsedāqā (kebenaran), şaddiq (benar/adil) dan misypāt (hukum/ keputusan hukum). Kata צדקה (tsedāqā) dipakai 157 kali dalam seluruh PL dan secara hurufiah diartikan sebagai “kelurusan”. Kemudian secara luas tsedāqā mempunyai arti rohani, yaitu sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima.
Kata ini juga mengungkapkan suatu tindakan yang berarti kehendak. Tsedāqā kemudian juga dapat dipahami sebagai pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Maz. 36, 7), dan “Allah selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus” (Yes. 45, 19).
Sejak zaman para Hakim, צדקה dipakai juga untuk menyebut tindakan-tindakan pembelaan Allah bagi orang-orang yang layak menerimanya. Misalnya, Hakim-hakim 5, 11 : “Perbuatan Allah yang adil”. Namun segi ini diperluas dengan tindakan Allah yang tsedāqā sebagai “pengampunan”. Misalnya, dalam Maz. 51, 16, Daud bersorak-sorak memberitakan keadilan Tuhan; Bukan tindakan pembenaran tetapi “pengampunan”, atau “penebusan” Allah atas orang-orang yang mengakui perbuatan dosa-dosanya.
Baru sesudah zaman pembuangan, צדקה menjadi sesuatu yang berarti sedekah, atau memberi uang kepada orang miskin (Dan. 4, 27; Maz. 112, 9; bnd. Mat. 6, 1) .
Berulang-ulang dalam pengajaran para nabi, tetap disuarakan secara konsisten tentang tema keadilan. Misalnya, nabi Yesaya mengejutkan warga kotanya dengan pemusnahan yang akan menimpa Yerusalem sebentar lagi. Yerusalem – demikianlah pemberitaan para nabi – sudah melupakan panggilannya : “Bagaimana ini, kota yang dahulu setia/ sekarang sudah menjadi sundal! Tadinya penuh dengan keadilan dan disitu serlalu diam kebenaran/ tetapi sekarang penuh pembunuh (Yes. 1, 21).
Pemberitaan serupa juga kita temui dalam pemberitaan Mikha. Kecamannya ditujukan ke semua negeri Yehuda, khususnya kepada masyarakat ibu kota, dan lebih khusus lagi kepada para pemimpin/ pemuka yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan .
Paling banyak ditemui di dalamnya tema keadilan adalah Kitab Mazmur . Meski pada pandangan-pandangan sekilas tema keadilan dalam kitab ini mengarah pada jurusan yang lain, namun dapatlah pesan-pesan itu ditangkap dalam tiga kesan tema keadilan :

1. Keadilan Allah. Dialah “Hakim” (syōfet) dan kepada-Nya dikenakan kata sifat “adil”. Ia-lah yang menetapkan “hukum” atau “keadilan” atau “keputusan yang adil” (misypāt). “Keadilan” Allah tidak terbatas pada cara pengadilan yang jujur, tanpa pilih buluh, tetapi juga Allah yang berkenan memihak kepada manusia yang telah dirampas haknya.
2. Keadilan dalam persekutuan umat. Mereka dipanggil menjadi orang-orang yang benar (saddĭqĭm) yaitu orang mencari dan meminta keadilan. Mereka adalah pendoa-pendoa yang berusaha hidup dalam ketulusan (Maz. 26, 1. 11) meskipun mereka telah dirampas haknya.
3. Keadilan Raja di Sion. Mereka adalah pemimpin monarkhi yang memerintah “demi kebenaran, peri kemanusiaan dan keadilan”, mereka adalah orang yang “meminta keadilan dan membenci kefasikan” (Maz. 45,5. 8).

Sudah tentu tidak ada konsep dalam PL yang begitu sentral tentang arti hubungan kemanusiaan sebagaimana ditemui pada kata צדקה. Ini menjadi ukuran bukan saja dalam hubungan manusia dengan Allah tetapi juga manusia dengan sesamanya .
“Keadilan” dan “kebenaran” ini bukan saja mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga manusia dengan sesamanya, bahkan manusia dengan binatang dan lingkungannya. Kata itu juga menggambarkan keteraturan ciptaan dimana tidak ada kekacauan dan ketidakseimbangan. Secara khusus dalam hubungannya dengan sesama bukan sebagai dua bagian/ pribadi atau kelompok yang berbeda, apalagi berdasarkan pertimbangan nalar semata. Keadilan itu berarti setiap orang menjadi agen yang menemukan bahwa dirinya adalah bagian dari kebenaran dan keadilan itu.

Von Rad mencatat kelihatannya ada perkembangan pembagian sesuai dengan perkembangan kata keadilan dan kebenaran itu. Satu sisi perhubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya sebagai bagian yang terpisah dan diperkembangkan independent masiang-masing. Ada konsep tsedāqā yang benar-benar bernilai religius dan yang kedua sebagai aplikasi teologis yang dipakai dalam kehidupan sekuler. Padahal jika dicermati teryata dua bagian yang diceraikan itu berkaitan satu dengan lainnnya. Bahwa Allah menuntun umat-Nya pada keadilan-Nya dan secara tegas menunjukkan bukti-bukti kebenaran-Nya, tapi Ia juga mengeluarkan aturan-aturan hidup tentang hubungan yang memungkinkan kehidupan bersama umat itu. Ia memberikan titah-Nya sebagai pengatur kehidupan sebagai anugerah. “Yahweh ada ditengah-tengah mereka sebagai צדקה…. , pagi demi pagi Ia memberi hukum-Nya; itu tidak pernah ketinggalan waktu fajar” (Zep. 3, 5).
Keadilan dari Allah hendaknya dilihat bangsa itu bukan hanya dalam konteks hubungannya dengan dunia ini, tetapi juga peristiwa kehadiran Yahweh. Kesinambungan kehidupan persekutuan Israel disokong oleh penantian bangsa itu akan keadilan dan kebenaran Allah. Benarlah penegakan keadilan dan kebenaran di tengah-tengah bangsa Israel adalah penghayatan spiritualitas atas keadilan dan kebenaran yang adalah Yahweh itu sendiri. Praktek keadilan dan kebenaran dalam hidup sehari-hari sungguh-sungguh bernilai religius dalam kehidupan umat Israel .
Keadilan dan kebenaran umat Allah dihidupi secara pribadi-pribadi dan umat secara kolektif. Seseorang menjadi lebih sadar akan dirinya sendiri dan terhadap hubungannya kepada Allah dan konsekuensinya adalah perlunya menguduskan diri dihadapan Allah. Keadilan dan kebenaran di hadapan Allah – demikian juga dengan komunitasnya – pertama dan terutama adalah memelihara dan melaksanakan perintah Allah.
Dengan demikian jelaslah bahwa kebenaran Allah bertautan dengan keadilan dan kebenaran yang harus menjadi pola anutan bagi orang umat Allah itu. Kebenaran Allah bukan bagian yang terpisah dari tuntutan Allah agar bangsa-Nya itu menjadi penegak keadilan dan Yerusalem menjadi benteng keadilan dan kebenaran.

3. Keadilan Sosial Oleh Umat Allah
Proses panggilan umat Alalh, sebagaimana sudah disebutkan secara berulang-ulang dan melalui proses panjang. Mulai dari panggilan Bapa leluhur, keluaran dari Mesir hingga pewartaan peneguhan bangsa Israel sebagai umat Allah oleh para nabi.
Salah satu sub-judul dalam buku Choan-Seng Song, digambarkan bangsa yang dipilih Allah itu bermula dari panggilan kepada Abraham yang “tercabut dari akarnya”. Demi memenuhi panggilan Allah, ia rela meninggalkan segalanya, ikatan-ikatan alamiahnya : tanah dan klan menuju suatu proses pembentukan umat Allah. Umat itu kemudian ditempatkan tidak terpisah dari bangsa-bangsa lain – malahan bagian dari bangsa-bangsa di dunia – itu. Panggilan “tercabut dari akar”nya itu menjadi bagian dari rencana Allah agar umat yang dipilihnya juga berbaur dengan bangsa-bangsa di dunia. “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar”, kata-Nya pula kepada Abraham dalam Kej. 12, 2.
Janji illahi itu pula yang menimbulkan keberanian dan kehendak pada konfederasi suku-suku di Israel untuk mendiami Palestina, daerah yang banyak dihuni bangsa-bangsa yang kuat. Namun disitu jugalah Allah meminta umat-Nya menjadi berbeda dengan panggilan menjadi pelaku-pelaku “Keadilan” dan “Kebenaran”.

Sekarang orang Yahudi telah disebarkan ke seluruh dunia. Penyebaran itu dimulai di Babel; telah berlangsung selama lebih dua ribu tahun. Suatu perjalanan panjang dari Menara Babel dan dari panggilan Abraham. Melalui keterputusan dan penyebaran bangsa-bangsa dan orang-orang dipimpin untuk menyadari bahwa Allah lebih besar daripada bangsa-bangsa , agama dan budaya seseorang.
Keadaan serupa dialami gereja-gereja Allah masa kini. Sebagai umat Allah yang dipanggil dan dipilih secara am (1 Petr. 2, 9), persekutuan itu terkadang harus tercabut dari akar-akarnya : tradisi ortodoks, ajaran-ajaran moralis dan praktek-praktek konvensional menuju suatu spektrum baru dalam rangka memenuhi panggilannya itu.
Tema-tema “kebenaran” dan “keadilan” (baca : keadilan sosial) mungkin bukan tema baru bagi gereja-gereja masa kini. Tetapi bagaimana gereja yaitu persekutuan orang-orang percaya melaksanakannya sebagai individual character, karakter yang integral dalam hidup pribadinya. Dengan demikian, pekerjaan sosial, karitas gereja tidak dilaksanakan secara parsial tetapi sebagai bagian yang utuh dalam rangka pelayanan holistik. Ibadahnya adalah kebenaran dan keadilan, sebaliknya keadilan dan kebenaran menjadi ibadah baginya.

4. Daftar Pustaka
Barth, Chr.
1986 Theologia PL Jilid 3, (Jakarta : BPK-GM)
Douglas, JD (Ed.)
2004 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta : YKBK/OMF)
Song, Choan-Seng
1990 Allah Yang Turut Menderita, (Jakarta : BPK-GM)
von Rad, Gerhard
1962 OT Theology, Vol. I : The Theol. Of Israel`s Historical Traditions, (NY& Evanston : Harper & Row Publishers)

2 comments

Leave a reply to baktijsitumorang Cancel reply